Oleh : Tegar KKWP
Dalam “City of God,” Santo Agustinus menceritakan kisah seorang bajak laut yang ditangkap oleh Alexander Agung. Kaisar dengan marah bertanya kepadanya, “Beraninya kau mengganggu lautan?” Bajak laut itu menjawab, “Beraninya kau mengganggu seluruh dunia? Karena aku melakukannya dengan perahu kecil, aku disebut bajak laut dan pencuri. Kau, dengan angkatan laut yang besar dan mengganggu dunia disebut kaisar,” kutipan dari buku Pirates and Emperors: karya Norm Chomsky.
Cerita ini berasal dari pertemuan legendaris antara Aleksander Agung dan seorang bajak laut yang dia tangkap. Dalam percakapan tersebut, si perompak membalik logika kekuasaan: bahwa perbuatan yang sama bisa dinilai secara sangat berbeda, tergantung siapa yang melakukannya dan dalam konteks apa yang dia dilakukan.
Pernyataan itu menjadi tamparan keras terhadap standar ganda sosial yang begitu melekat dalam peradaban manusia. Mengapa masyarakat memuliakan sang kaisar dan memenjarakan sang perompak, padahal keduanya melakukan tindakan yang esensinya sama: merampas, menaklukkan, dan mengambil hak orang lain.
Manusia sering kali terjebak pada cover atau sampul. Apa yang terlihat indah, rapi, berwibawa, dan besar cenderung diterima lebih mudah sebagai benar dan sah. Maka dari itu, seorang kaisar dengan pakaian kebesaran, istana megah, dan pasukan yang teratur akan lebih mudah disebut sebagai “pemimpin adil” daripada perompak yang kumuh dan membawa pedang karatan.
Namun, apakah pengakuan moral bisa dibentuk hanya dari tampilan dan struktur?
Tidak jarang, sejarah memperlihatkan bahwa banyak penguasa yang secara sistematis menindas, merampok, dan menyebarkan kekerasan, tetapi tetap dikenang sebagai pahlawan hanya karena mereka menang dan membangun narasi yang bagus.
Fenomena ini mengungkap satu hal penting: bahwa sesungguhnya masyarakat masih banyak menilai moralitas berdasarkan bentuk, bukan esensi. Inilah mengapa keindahan sering dikira kebaikan, dan kekuatan sering dikira kebenaran.
Padahal seperti kantung semar yang memikat serangga dengan aroma manis untuk kemudian mencernanya perlahan-lahan, keindahan bisa menjadi jebakan paling mematikan jika tidak dikaji secara kritis. Dalam dunia modern pun, hal ini terus berulang: dari politikus yang manis di layar tapi bengis di belakang layar, hingga perusahaan besar yang melakukan eksploitasi namun disanjung karena CSR dan iklan mengharukan.
Jadi Siapa Sebenarnya penjahat di sini?
Pelajaran dari kisah Aleksander dan perompak bukan hanya tentang sejarah atau anekdot, tapi cermin yang mengajak kita mempertanyakan nilai-nilai yang selama ini kita anggap mutlak. Apakah kita benar-benar mengerti siapa yang jahat dan siapa yang benar, atau hanya ikut arus berdasarkan opini mayoritas dan citra yang dibangun?
Jika kita ingin membangun masyarakat yang adil, maka kita harus berani melampaui sampul dan menilai dari substansi. Mulai dari pertanyaan paling sederhana: apa yang mereka lakukan, bukan siapa mereka dan seberapa megah mereka tampil?
Sudah saatnya mari kita membuka mata terhadap ketimpangan logika dalam menilai kebaikan dan keburukan. Tak selamanya yang besar itu benar, dan yang kecil itu salah. Tak selamanya yang indah itu baik, dan yang kasar itu jahat. Dunia akan lebih adil jika kita mampu menilai dari dalam, bukan hanya dari luar…
Thanks for watching, apabila ada kata atau kalimat yang menyesatkan, janganlah ragu untuk mengkritik atau memberi saran, karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa, “wajar manusia bukan nabi boy..”