Oleh: Tegar KKWP
Apa yang disebut benar, dan apa yang disebut salah? Apakah dua hal ini seperti siang dan malam yang mutlak berbeda, atau justru seperti senja campuran dari keduanya?
Dalam dunia yang terus berubah, batas antara kebenaran dan kesalahan tidak lagi sehitam-putih yang diajarkan sejak kecil. Keduanya justru saling bergantung, saling menyorot, dan saling mempertanyakan satu sama lain.
Kebenaran: Apa yang Kita Yakin, atau Apa yang Memang Ada?
Kebenaran sering dianggap sebagai sesuatu yang mutlak, tetap, dan tak tergoyahkan.
Tapi pertanyaannya—mutlak menurut siapa?
Dulu, “matahari mengelilingi bumi” adalah kebenaran.
Sampai Galileo datang, dianggap salah, lalu dipenjara. Sekarang? Galileo benar.
Kebenaran, sejatinya, adalah hasil konsensus.
Apa yang hari ini disebut “kebenaran absolut”, bisa jadi hanyalah kebenaran yang saat ini paling sedikit diperdebatkan.
Kebenaran yang berhasil mempertahankan dirinya dari gugatan,
bukan karena dia sempurna, tapi karena dia belum dikalahkan.
Kesalahan: Bukan Musuh, Tapi Bayangan dari Kebenaran
Kesalahan kerap dianggap kebalikan dari kebenaran. Tapi… benarkah?
Seorang pencuri tidak mencuri tanpa alasan.
Ada logika, ada keputusasaan, ada “kebenaran kecil” di dalam dirinya yang kalah dalam arena hukum publik.
Maka, kesalahan adalah kebenaran subjektif yang kalah dalam uji relevansi terhadap sistem yang lebih besar.
Dan menariknya, kesalahan bisa jadi awal dari perubahan.
Galat bukan akhir, tapi lonceng awal revolusi.
Objektivitas, Subjektivitas, dan Permainan Kekuasaan
Kebenaran objektif adalah impian para pemikir rasional.
Tapi bahkan yang kita anggap objektif pun, sering dibangun dari kumpulan subjektivitas yang disepakati.
“2 + 2 = 4” adalah hasil sistem logika yang sudah kita sepakati.
Tapi dalam sistem fiksi, metafora, bahkan seni, 2 + 2 bisa saja menjadi 5.
Di sinilah letak bahayanya:
Yang bisa menetapkan “benar” dan “salah”, sering kali adalah mereka yang memegang kuasa.
Baik itu gereja, negara, ilmuwan, bahkan mayoritas masyarakat.
Kebenaran Tanpa Kesalahan adalah Tirani:
Tanpa ruang untuk salah, kebenaran berubah menjadi dogma.
Tanpa keberanian untuk mempertanyakan yang dianggap benar, kita menjadi budak narasi lama.
Maka, jangan takut salah. Takutlah pada hidup yang tidak pernah bertanya.
Kesalahan adalah tanda bahwa kita berpikir. Dan berpikir adalah langkah pertama menuju kebebasan.