Yoki Sondegau, Ketua BEM Universitas Timika
Yoki Sondegau, Ketua BEM Universitas Timika
Konflik bersenjata yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada Sabtu (29/3/2025), antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB/OPM) dan aparat TNI/POLRI telah menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat sipil. Pengungsian massal dari beberapa kampung, seperti Kampung Eknemba, Titigi, dan Janampa, ke wilayah-wilayah yang dianggap lebih aman, seperti Kampung Holomama, Wayasiga, dan Yogatapa, menjadi bukti nyata dari eskalasi konflik ini.
Dalam konteks ini, Pemerintah daerah diminta untuk mencabut keberadaan TNI/POLRI di Titigi guna menghindari eskalasi lebih lanjut. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis konflik tersebut dari perspektif akademis, dengan fokus pada implikasi humaniter, politik, dan sosial.
Latar Belakang Konflik
Intan Jaya adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang kerap menjadi episentrum konflik bersenjata antara kelompok separatis TPNPB/OPM dan aparat keamanan Indonesia. Konflik ini tidak hanya dipicu oleh isu politik seputar hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, tetapi juga oleh faktor-faktor struktural seperti ketimpangan ekonomi, marjinalisasi budaya, dan kurangnya akses terhadap pendidikan serta layanan dasar lainnya. Eskalasi konflik pada 29 Maret 2025 menunjukkan bahwa pendekatan militeristik yang selama ini diterapkan belum mampu menyelesaikan akar masalah.
Kehadiran aparat TNI/POLRI di Titigi, yang awalnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas keamanan, justru menjadi pemicu ketegangan baru. Situasi ini diperparah oleh tindakan kelompok TPNPB/OPM yang juga memilih daerah pemukiman sebagai arena pertempuran. Akibatnya, masyarakat sipil menjadi korban utama, baik dalam bentuk pengungsian massal maupun hilangnya nyawa.
Implikasi Humaniter
1.Pengungsian Massal
Pengungsian dari Kampung Eknemba, Titigi, dan Janampa ke Kampung Holomama, Wayasiga, dan Yogatapa menunjukkan situasi darurat kemanusiaan yang mendesak. Para pengungsi menghadapi berbagai tantangan, seperti:
Kurangnya akses terhadap bahan pangan: Pengungsi sering kali bergantung pada bantuan luar karena tidak ada sumber daya lokal yang memadai.
Krisis air bersih dan sanitasi: Kondisi pengungsian yang tidak terorganisir menyebabkan risiko tinggi terhadap penyakit menular.
Trauma psikologis: Anak-anak dan perempuan rentan mengalami trauma akibat konflik bersenjata.
2. Korban Jiwa yang Belum Dapat Dipastikan
Kendala komunikasi, seperti matinya jaringan telekomunikasi selama konflik, membuat jumlah korban jiwa sulit dipastikan. Hal ini menunjukkan pentingnya infrastruktur telekomunikasi yang stabil di daerah rawan konflik.
Eskalasi Konflik dan Peran Berbagai Pihak
Keberadaan TNI/POLRI di Titigi, meskipun bertujuan untuk menjaga keamanan, sering kali dianggap sebagai ancaman oleh kelompok separatis. Pendekatan militeristik yang dominan dalam menangani konflik di Papua cenderung memperburuk situasi karena tidak mengatasi akar masalah. Sebaliknya, pendekatan dialog damai dan pembangunan berbasis komunitas lebih relevan untuk menciptakan perdamaian jangka panjang.
Masyarakat sipil di Intan Jaya sering kali menjadi korban dalam konflik ini. Selain pengungsian massal, mereka juga menghadapi diskriminasi sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks ini, aparat bersenjata tidak menggunakan pemukiman warga sebagai arena pertempuran adalah langkah strategis untuk melindungi hak-hak masyarakat sipil.
Pemerintah Kabupaten Intan Jaya, di bawah kepemimpinan Bupati Aner Maiseni dan Wakil Bupati Elias Igapa, memiliki tanggung jawab besar dalam meredakan ketegangan. Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi:
- Mencabut atau merelokasi pasukan TNI/POLRI dari area sensitif, seperti Titigi, untuk mengurangi eskalasi konflik.
- Membuka ruang dialog damai dengan melibatkan semua pihak, termasuk kelompok TPNPB/OPM, tokoh agama, dan masyarakat adat.
- Memperkuat infrastruktur dasar di wilayah pedalaman untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Rekomendasi Berbasis Penelitian
Berdasarkan analisis di atas, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk mengatasi konflik di Intan Jaya:
- Pendekatan Non-Konfrontatif
Menghindari pendekatan militeristik dan menggantinya dengan dialog damai yang difasilitasi oleh pihak independen, seperti LSM internasional atau organisasi keagamaan. - Penyediaan Bantuan Kemanusiaan
Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan untuk menyediakan bantuan logistik, seperti makanan, air bersih, obat-obatan, dan tenda darurat, kepada para pengungsi. - Penguatan Infrastruktur Telekomunikasi
Investasi dalam infrastruktur telekomunikasi yang stabil sangat penting untuk memastikan informasi akurat tentang korban dan situasi di lapangan dapat diperoleh secara cepat. - Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Program pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan keterampilan dan pemberian modal usaha, dapat membantu mengurangi ketimpangan ekonomi yang menjadi salah satu akar masalah konflik. - Perlindungan HAM
Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak masyarakat sipil dilindungi selama konflik. Pelanggaran HAM oleh aparat keamanan maupun kelompok bersenjata harus diinvestigasi secara transparan.
Konflik bersenjata di Intan Jaya adalah cerminan dari kompleksitas masalah di Papua yang membutuhkan solusi holistik. Pemerintah daerah perlu mencabut keberadaan TNI/POLRI di Titigi dan melindungi masyarakat sipil merupakan seruan penting yang patut didukung. Untuk menciptakan perdamaian jangka panjang, pendekatan dialog damai, pemberdayaan masyarakat, dan perlindungan hak asasi manusia harus menjadi prioritas utama. Semoga upaya kolektif dari semua pihak dapat membawa Papua menuju masa depan yang lebih damai dan sejahtera.
- International Crisis Group. (2020). Papua: The Neglected Conflict.
- United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA). (2024). Humanitarian Situation in Papua.
- Amnesty International. (2023). Human Rights Violations in Papua: A Call for Accountability.