oleh Rivaldi Ihsan
Pada hari Minggu tanggal 10 November 2019 lalu merupakan momen penting bagi temanku bernama Timi dan Bunga yang telah usai merayakan resepsi pernikahan di Gedung Pena Hall Graha Pena Batam. Kebetulan pada
kesempatan peristiwa bahagia itu, diriku bersama teman-teman terlibat sebagai band pengisi, band itu bernama Nunsense. Nunsense merupakan band sewaan bisa berupa kombo band atau akustik musik spesialis pada peristiwa wedding, gathering, dan birth day yang ada di setiap sudut Kota Batam.
Singkat cerita setelah diriku berpartisipasi sebagai pemusik sekaligus
juga mengamati setiap momen prosesi resepsi pernikahan temanku itu dari
awal hingga akhir. Dan akhirnya, aku mendapatkan ide untuk bercerita dan
menuliskan kembali pada setiap momen yang ada di benakku pada waktu itu.
Dengan tema budaya hibrid; pada pada resepsi perkawinan masyarakat
urban Batam. Sebelum melanjutkan tema pembahasan tulisan ini, ada
baiknya aku bercerita kembali melalui metode etnografi setiap momen
peristiwa pernikahan temanku itu.
Setiap momen pernikahan yang dirayakan pada suatu gedung tentu
memakan biaya yang cukup besar dengan durasi sewa maksimal delapan
jam, dan itu belum termasuk harga dekorasi, kateringnya, serta harga-harga
sewaan lainnya. Tapi itulah yang namanya resepsi, resepsi pada setiap kota
tentu berbeda-beda. Namun, biasanya resepsi perkotaan harus terlihat
elegan, manawan, indah serta berkesan dihadapan para keluarga kedua
mempelai dan para tamu undangan, sebab resepsi pernikahan itu hanya
dirayakan sekali seumur hidup sekaligus menggambarkan status sosial si
pemilik resepsi.
Waktu itu, pada pukul 13.00 wib Nunsense band sebagai band pengisi
telah berada di lokasi untuk melakukan sound cek terlebih dahulu. Sebab
pada pesta pernikahan temanku ini, tidak menggunakan hiburan orgen
tunggal. Ia hanya ingin menggunakan hiburan band saja, dengan syarat
membawakan lagu-lagu dari permintaan mempelai pria dan mempelai
wanita.
Acara pesta itu di mulai pada pukul 14.00-21.00 wib. Di buka oleh dua
orang imc yaitu seorang pria dan seorang wanita. Mereka juga mengucapkan
selamat menempuh hidup baru kepada kedua mempelai, serta mengucapkan
selamat datang kepada para kerabat keluarga yang berasal dari luar kota dan
tidak lupa kepada para tamu undangan. Setelah itu, dilanjutkan dengan kata
sambutan dari seorang tokoh adat biasa disebut datuak dari pihak mempelai wanita, mengingat mempelai wanita berasal dari etnis Minangkabau kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Kemudian, dilanjutkan dengan penampilan tari pasambahan Minangkabau sebagai ungkapan selamat datang sebagai tanda ungkapan rasa hormat kepada kedua mempelai dan tamu undangan yang hadir pada hari ini.
Tari pasambahan dipertunjukan dari pintu masuk utama, kemudian tepat
dibelakang penari diikuti oleh kedua mempelai sembari menghantar keduanya menuju singgasananya untuk menikmati momen berbahagia pada hari ini. Selanjutnya, pertunjukan tari kreasi dengan tema pesona nusantara yang menampilkan gerakan-gerakan tari dari beberapa macam Provinsi yang
berada di Indonesia.
Usai dari pertunjukan tari itu, kemudian imc pun mempersilakan pertunjukan musik dari band Nunsense yang membawakan lagu-lagu Barat
dan Indonesia sesuai dengan permintaan dari kedua mempelai. Sembari Nunsense menyajikan suguhan pertunjukan musik untuk menghibur kedua mempelai, beserta kedua keluarganya. Para tamu undangan pun berdatangan menikmati sajian makanan khas Minang, setelah usai menikmati hidangan.
Biasanya, para tamu undangan berjalan menuju singgasana mempelai untuk berfoto. Berfoto merupakan salah ungkapan momen berbahagia momen kepada kedua mempelai. Begitulah kira-kira situasinya hingga akhir resepsi
pernikahan pada pukul 21.00 wib.
Dari deskripsi etnografi resepsi pernikah di atas, sebelumnya kita dudukkan terlebih dahulu apa itu hibrid. Hibrid menurut Yasraf ialah gaya
hidup yang dibangun oleh ‘kode ganda’ (double coding), yaitu perkawinan silang dua kode gaya hidup berbeda atau bertentangan, sedemikian rupa, sehingga menghasilkan berbagai bentuk kontradiksi diri. berbagai kode
budaya lokal di dalam sebuah lingkungan fisik urban: kode pakaian, kode
memasak, kode seni, kode arsitektur, yang menghasilkan budaya urban baru.
Pada resepsi pernikahan di atas merupakan suatu budaya hibrid atau
perkawinansilang di mana mempelai wanita berasal dari etnis Minangkabau
dan mempelai pria berasal dari etnis Bugis. Maka kedua keluarga melakukan
diskusi, kesepakatan, hingga tawar menawar dari kedua mempelai. Pada akhirnya resepsinya menggunakan adat istiadat budaya etnis Minangkabau, namun tidak secara utuh hanya mengambil konsep momen tertentu saja. Seperti imc menggunakan bahasa Minang sesekali, kemudian pengantin menggunkan pakaian adat Minangkabau. Sementara dari sajian makan menyuguhkan masakan khas Minang yaitu rendang, samba lado, dendeng dan sebagainya. Dan tidak lupa pertunjukan seni tari tradisional Minangkabau juga dihadirkan.
Untuk memperjelas lagi, bahwa pernikahan di atas merupakan suatu
budaya hibrid. Maka, saya identifikasi kembali resepsi pernikahan di atas.
Salah satu ciri budaya hibrid ialah adanya budaya lokal yaitu adanya identitas
budaya lokal Minangkabau, seperti tari tradisi pasambahan Minangkabau,
kedua mempelai juga memakai pakaian adat Minangkabau, yang dihadiri
oleh tokoh adat Minangkabau. Sesekali imc berbicara menggunakan bahasa
Minangkabau ketika menyapa tamu undangan. Sementara budaya urbannya
ialah gedung serba guna dengan arsitektur kekinian, serta desain interior
serba masa kini dengan menyediakan ruang VIP bagi tamu-tamu pejabat atau
konglomerat.
Dan tidak lupa, dekorasi panggung yang serba ke kinian juga
mendominan menggunakan warnah putih serta dihiasi oleh bunga-bunga
dan gemerlap lampu hias. Ditambah lagi dengan adanya band pengisi yang
membawakan lagu-lagu Barat dan Indonesia yang bertemakan kebahagian,
cinta, dan kasih sayang. Para musisi itu juga menggunakan pakaian kemeja
rapi berwarna hitam dengan sepatu mengkilap bagaikan musisi-musisi ala
Barat.
Para tamu keluarga, para tamu undangan terdiri dari berbagai macam
etnis yang mengenakan pakaian-pakaian masa kini yang mencirikan orang-
orang kota. Pria dan wanita itu terlihat modis casual, elegan mengenakan
gamis, berwarna hitam, coklat, pastel serta memakai celana kulot yang trend
dikalangan muda mudi saat ini.
Akhirnya, sampailah pada benang merah tulisan ini, ada pun benang
merahnya ialah, bahwa budaya urban merupakan hasil dari
perkawinangsilang yang memiliki beraneka ragam kompleksitas di
dalamnya. Komplesitas itu terdiri dari segi kode pakaian, bahasa, seni, dan
arsitektur bangunan. Semua itu menjadi satu kesatuan berada di ruang
lingkup kehidupan masyarakat perkotaan yaitu Kota Batam.
Bisa dikatakan bahwa identitas yang dihadirkan oleh masyarakat Kota
Batam merupakan identitas ruang ketiga. Hasil dari tawar menawar
beraneka ragam budaya tradisional/modern, lokal/global, desa/kota,
pesisir/daratan dan sebagainya. Kemudian mewujudkan identitas plural
yang memiliki kompleksitas biasa disebut “budaya heterogen urban” Batam
meminjam istilah Yasraf.
Ada pun salah satu ciri dari budaya hibrid heterogen urban Batam
ialah menciptakan komunitas atau paguyuban etnis. Seperti IKBI (Ikatan
Keluarga Batak Islam), paguyuban Jawa Timur, PKDP (Persatuan Keluarga
Daerah Pariaman), paguyuban Marga Tionghoa, paguyuban Pasunda, dan
sebagainya. Komunitas dan paguyuban itu berbeda namun tetap menjadi satu kesatuan pada saat momen-momen tertentu pada ruang-ruang sosial
resepsi pernikahan, bertetangga satu kompleks perumahan, serta dalam
dunia bisnis, perkantoran sekali pun, namun sebagai pembeda dengan etnis
lain apabila telah bergabung dengan komunitas atau paguyubannya masing-
masing. Tentu pembahasan budaya hibrid tidak hanya pada resepsi
pernikahan saja, masih banyak budaya hibrid lainnya yang hadir di Kota
Batam. Namun, pada kesempatan kali ini saya hanya mengulas resepsi
pernikahan masyarakat urban Batam saja sebagai wacana tulisan-tulisan
budaya hibrid yang ada di kota.