Balikpapan, Siasat ID – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menanggapi dugaan represifitas aparat kepolisian terhadap warga Dusun Pematang Bedaro, Muaro Jambi. GMNI secara tegas mengecam segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada warga pada saat aksi damai berlangsung.
Berdasarkan kronologis rangkain kegiatan yang ditulis oleh kawan-kawan yang bertugas dilapangan, aksi ini awalnya berlangsung dengan damai yang terdiri dari ratusan masyarakat yang melakukan kegiatan yasinan dan doa bersama. Namun belum usai kegiatan yasinan, personel telah melaksanakan pembubaran paksa terhadap peserta aksi. Untuk diketahui, kegiatan yasinan ini merupakan aksi simbolik yang dilakukan oleh masyarakat yang berangkat dari buntut diamankannya lima orang masyarakat desa setempat oleh Polda Jambi.
Dalam kegiatan tersebut masyarakat dusun menuntut Polda Jambi untuk melepaskan 5 orang yang diamankan Polda Jambi pada 3 Juli 2023 lalu.
Namun, tuntutan ini tidak terpenuhi lantaran pihak keamanan dalam hal kepolisian membubarkan massa aksi dengan tindakan represif.
Tindakan aparat keamanan ini menyebabkan massa aksi sebagian mendapat luka-luka. Banyak di antara ibu-ibu hingga anak-anak berumur 3 tahun ditangkap dan dibawa ke Polda Jambi. Meski sebanyak 26 warga yang ditangkap sudah dibebaskan, dalam satu keterangan, pihak aparat keamanan masih tetap akan memanggil beberapa nama dari kelompok tani yang terlibat dalam aksi blokir jalan tersebut untuk dimintai keterangan lagi.
Dalam keterangan tertulisnya (23/7/2023), GMNI Balikpapan mengecam adanya penangkapan 26 orang warga dusun dan tindakan represif yang terjadi pada warga pada Jumat 21 Juli 2023 lalu.
“Kami merasa bahwa sebenarnya tindakan kekerasan seperti di Pematang Bedaro dapat dihindari jika pihak kepolisian lebih mengedepankan prinsip humanisme dan pola komunikasi persuasif. Apapun alasan yang digunakan aparat untuk dapat melakukan tindakan represif tidak bisa dibenarkan,” kata Ketua Bidang Kaderisasi GMNI Balikpapan, Maha Sakti Esa Jaya.
Apalagi warga dusun dalam penyampaian aspirasinya telah dilindungi dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini tentu menjadi dasar yang jelas aparat untuk tidak boleh melakukan intimidasi dan penangkapan sesuka hati terhadap warga dusun yang sedang melaksanakan aksi damai.
Kondisi yang terdapat di Dusun Pematang merupakan gambaran nyata bahwa pihak kepolisian yang secara idealnya harusnya hadir sebagai the guardian (penjaga hukum) tidak mampu memanifestasikan bentuknya secara utuh dialam materiil. Hal ini lantaran ketidakmampuan aparat dalam mengedepankan nilai-nilai humanisme yang telah tertuang dalam Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, serta No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Jika tidakan-tindakan semacam ini yang terus dilakukan ke masyarakat, maka akan makin meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat,” sambung Maha.
Aparatur kepolisian perlu segera melakukan pembenahan yang secara tepat, terarah dan turukur. Sebab praktik yang terjadi di lapangan telah menghadirkan distrust (ketidakpercayaan) bagi masyarakat, kondisi ini lama kelamaan dapat mempengaruhi budaya hukum kita terkhususnya dalam ruang demokrasi.
Dalam konteks ruang demokrasi, kebebasan berpendapat merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kemanusia. Maka sebagai masyarakat yang demokratis kita perlu menjaga esensinya untuk tidak runtuh dam tergerus oleh para oknum-oknum yang menggerogotinya.
“Kami selalu mengharapkan semoga berikutnya tidak terjadi lagi represifitas aparat kepada masyarakat, apalagi sampai menghilangkan nyawa dari warga negara. Kritik demi kritik seharusnya dihidupkan, dan negara mesti mengakomodir jaminan keamanan atas hal tersebut,” ujarnya.
Oleh karena itu, GMNI Balikpapan melihat perlu pihak kepolisian menghadirkan pendekatan yang humanis ke masyarakat dari pada menggunakan pendekatan militeristik terhadap warga dusun Pematang Bedaro. Sebab permasalahan yang terjadi di Dusun Pematang Bedaro ini tidak bisa kita lihat hanya berdasarkan konflik teritorial semata, akan tetapi ini telah menjadi kebudayaan yang buruk bagi pihak aparatur dalam merespon ruang demokrasi. Maka pembenahan secara keberlanjutan harus dilakukan demi bisa memanifestasikan konsep the guardian melalui perbaikan pola pendekatan dengan masyarakat dalam melaksanakan pengawalan aksi massa, pungkasnya.