Oleh: Arief Rahzen, pekerja budaya.
Langit Mataram pada sore hari di Agustus 2025 terasa berbeda. Udara yang biasanya terganggu deru kendaraan, kini berbaur dengan ritmis tabuhan rebana dan jedor yang membangkitkan semangat. Di panggung utama Festival Budaya Pelajar yang digelar oleh Pemerintah Kota Mataram di Teras Udayana, ratusan pasang mata tertuju pada sekelompok anak-anak bersiap mementaskan tari Rudat. Mereka berdiri tegap di pinggir panggung, mengenakan kostum cerah dengan songkok tinggi berhias rumbai. Wajah mereka memancarkan paduan antara gugup, bangga, dan konsentrasi penuh. Momen itu bukan sekadar sebuah agenda dalam festival. Ini sebuah pernyataan. Di tengah kencangnya arus globalisasi, denyut nadi kebudayaan Kota Mataram, ternyata berdetak kencang di dada generasi termudanya. Pengalaman menonton pertunjukan mereka menjadi perenungan bagaimana kebudayaan diwariskan. Pewarisan bukan sebagai artefak beku, melainkan sebagai sebuah pengalaman hidup. Pertunjukan ini adalah manifestasi nyata dari “living heritage” yang melampaui dinding institusi. Disini, para pelajar itu terlibat langsung dalam peristiwa budaya, jadi subjek aktif dalam proses pemajuan kebudayaan.
Menyaksikan pertunjukan Rudat mereka adalah sebuah pengalaman yang menyentuh. Gerakan tubuh mereka mungkin tidak sesempurna para penari professional. Gerak tangan-kaki mereka tak serapi penari yang telah puluhan tahun mengabdikan diri pada seni. Ada kalanya satu-dua gerakan sedikit tidak sinkron. Atau ekspresi seorang penari cilik pecah oleh senyum malu-malu saat matanya bertemu dengan penonton yang ia kenal. Namun, justru dalam “ketidaksempurnaan” itulah terletak kekuatan terbesar pertunjukan ini. Energi yang mereka pancarkan begitu murni dan jujur. Setiap tepukan tangan ke dada, dan setiap hentakan kaki yang serempak, yang mereka peragakan terasa lahir dari antusiasme yang tulus. Bukan hafalan teknis.
Lantunan salawat dan puji-pujian yang terdengar menjadi jiwa yang menggerakkan raga para penari. Para penari cilik dan remaja ini, dengan segala kepolosan mereka, menjadi medium di mana nilai-nilai spiritualitas, disiplin, dan kebersamaan yang terkandung dalam Rudat menemukan wadah barunya. Kita tidak lagi melihat Rudat sebagai tontonan lampau. Kita menyaksikan pertunjukan Rudat yang hidup, bernapas, dan relevan di masa kini. Mereka menunjukkan Rudat bukanlah pakaian kebesaran yang dipinjam dari generasi kakek-nenek mereka. Pertunjukan Rudat mereka merupakan pakaian yang pas dan nyaman untuk mereka kenakan hari ini. Inilah esensi kebudayaan. Ini bukan tentang kesempurnaan teknis lagi. Ini tentang transmisi semangat dan makna antar generasi.
Pengalaman ini membuat kita merenungkan kembali ihwal pewarisan budaya. Secara tradisional, karya budaya kerap dianggap sudah selesai, statis dan ada pakem. Pengunjung hadir sebagai penontont pasif. Datang melihat, kemudian mengagumi objek dari kejauhan. Namun, Festival Budaya Pelajar ini, dengan pertunjukan Rudat-nya, telah menunjukkan dinamisnya budaya, uniknya pewarisan budaya. Budaya lampau tak lagi terlihat kaku, tapi merujuk pula pada aksesibilitas terhadap pengetahuan, pengalaman, dan partisipasi.
Dalam “pewarisan riang gembira” ini, karya budaya juga meliputi gerak tari, irama musik, lantunan syair, dan interaksi sosial yang terjadi. Para pelajar ini bukanlah objek. Mereka juga ikut memilah, partisipan aktif dalam aktivitas budaya. Mereka juga menafsirkannya, merasakannya, dan menghidupinya. Pengetahuan tentang Rudat tidak lagi ditransfer melalui hafalan semata. Ihwal Rudat diketahui melalui laku berlatih dan pentas bersama. Telah menubuh.
Di panggung festival inilah sekat-sekat luruh. Tiada lagi hierarki antara ahli dan awam, seniman dan penonton. Semua yang hadir melebur menjadi satu ekosistem budaya. Penari, pendamping, tim horai, penonton melebur dalam peran masing-masing. Sorak-sorai penonton tak sekadar riuh, melainkan energi yang memvalidasi para penampil. Inilah pewarisan budaya yang menarik: sebuah ruang komunal tempat identitas dirayakan dan diperkuat bersama, dengan pemerintah sebagai fasilitatornya.
Nilai transformatifnya lahir dari pengalaman langsung, sebuah pengetahuan yang diraih tubuh, jauh melampaui teori di ruang kelas. Bagi para penari, proses ini adalah pendidikan paripurna: disiplin dan harmoni ditempa dalam gerak serempak. Sementara jiwa disirami oleh lantunan salawat. Pengetahuan tak lagi menjadi ingatan, tetapi menjelma kesadaran.
Gempita ini pun milik mereka yang ada di balik layar: para pemusik, penata lampu, soundman, perias, bahkan tenaga logistik. Sebab sebuah keagungan budaya adalah karya kolektif yang ditenun dari rasa tanggung jawab bersama. Bahkan para penonton adalah partisipan aktif. Antusiasme mereka menjadi saksi hidup relevansi budaya, sekaligus percik api yang akan menyulut partisipasi baru di tahun mendatang. Inilah lingkaran kebajikan: partisipasi menyemai apresiasi, apresiasi menuai regenerasi.
Pada akhirnya, festival ini adalah napas hidup dari amanat Undang-undang Pemajuan Kebudayaan. Ini bukan lagi sebuah seremoni, melainkan strategi jitu yang menggerakkan seluruh pilarnya dalam satu panggung yang riuh dan bermakna.
Pertama, Pelindungan. Upaya pelindungan tak hanya dengan mendokumentasikan Rudat dalam arsip atau video lalu menyimpannya di perpustakaan. Pelindungan yang paling hakiki adalah dengan memastikan adanya pewaris. Pelibatan ratusan pelajar SD dan SMP, pemerintah memastikan bahwa mata rantai pewarisan Rudat tidak terputus. Kesenian ini dilindungi dari kepunahan dengan cara diakrabkan langsung ke sanubari generasi penerus.
Kedua, Pengembangan. Di tangan kaum muda, tradisi menemukan napas barunya. Gerak ditafsir ulang, semangat zaman disuntikkan, menjadikan Rudat denyut yang segar dan penuh daya hidup. Inilah bukti bahwa warisan luhur tak membeku dalam waktu, melainkan mengalir dinamis tanpa tercerabut dari akarnya.
Ketiga, panggung ini pun menjadi kancah pemanfaatan budaya. Rudat tak hanya menempa karakter dan disiplin para penari belia, tetapi juga merajut tenun sosial antar sekolah, seraya memoles citra Mataram sebagai kota yang merawat jati dirinya.
Keempat, Pemerintah hadir membentangkan panggung dan memupuk ekosistem bagi tunas-tunas seniman untuk bertumbuh. Ikhtiar ini memastikan api pelestarian terus menyala, dijaga oleh semangat komunitas dan naungan kebijakan.

Di ujung pertunjukan, gemuruh tepuk tangan membahana, menjadi restu bagi langkah kecil para pewaris budaya. Kita sadari kemudian, masa depan kebudayaan kita, tidak terletak pada seberapa megah bangunan budaya dibangun. Atau seberapa tebal buku sejarah yang ditulis. Masa depan itu terletak pada momen-momen seperti ini: pada kilau keringat di dahi seorang anak yang baru selesai menari, pada senyum bangga seorang guru melihat muridnya tampil memukau, dan pada riuh tepuk tangan penonton yang merasakan getaran kebanggaan kolektif.
Festival Budaya Pelajar 2025, melalui pertunjukan Rudat, fashion show adat, maupun kesenian lainnya, telah memberikan pelajaran berharga. Ini cara terbaik menjaga api kebudayaan tetap menyala, dengan membiarkannya dipegang oleh tangan-tangan generasi muda. Mereka tidak hanya akan menjaganya. Boleh jadi malah meneruskannya dengan nyala lebih terang. Anak-anak dan remaja ialah pewaris budaya. Pada mereka nantinya denyut nadi kebudayaan bangsa ini akan terus berdetak, kuat dan penuh harapan.
Arief Rahzen, pekerja budaya yang meminati kajian budaya dan perubahan masyarakat di era digital. Berpetualang, menulis, aktivitas budaya. Mondarmandir Jakarta, Bali, Solo-Jogja, Mataram, dan Sumbawa.