• Latest
  • Trending
  • All
Manifesto Gotong Royong di Perayaan Agustusan

Manifesto Gotong Royong di Perayaan Agustusan

Agustus 18, 2025

Ibadah dan Pemasangan Salib di Agimuga Berjalan Lancar.

Desember 4, 2025

Ibadah Rekonsiliasi Umat Katolik Suku Amungme 2025, Tandai Perbaikan Hubungan dan Persatuan di Mimika

Desember 4, 2025

GMNI Mimika Serukan Penegakan Hukum dan Penguatan Keamanan Menyongsong Nataru

Desember 2, 2025

GMNI Mimika Desak Kapolres Usut Tuntas Pembunuhan dan Tingkatkan Pengamanan‎‎

Desember 1, 2025

Gmni Mimika Soroti Lambannya Penanganan Keamanan Jelang Desember Damai

November 29, 2025

Danramil Agimuga Komitmen Dukung Kesuksesan Rekonsiliasi Katolik Suku Amungme 2025

November 28, 2025

Lestarikan Budaya, Pemuda Saireri Mimika Gelar Lomba Tari Yospan untuk Pelajar

November 27, 2025

Pemangku Kebijakan di Kabupaten Mimika Dinilai Darurat Etika dan Moral

November 24, 2025

Tolak Klaim Sepihak, Warga Nawaripi-Komoro Minta Pemerintah Bertindak Tegas

November 21, 2025
GMKI, HMI, dan GMNI Walk Out: Rakerda I KNPI Papua Selatan Dinilai Gagal Total

GMKI, HMI, dan GMNI Walk Out: Rakerda I KNPI Papua Selatan Dinilai Gagal Total

November 17, 2025
Pembangunan di SMA Negeri 1 Timika Abaikan Keselamatan Warga Sekolah, Komite Sekolah Desak Intervensi Pemerintah Daerah

Pembangunan di SMA Negeri 1 Timika Abaikan Keselamatan Warga Sekolah, Komite Sekolah Desak Intervensi Pemerintah Daerah

November 17, 2025
Clean Friday di SMAN I, Distrik dan Kampung Berhasil Mengeluarkan Ribuan Liter Air Pada Drainase Utama

Clean Friday di SMAN I, Distrik dan Kampung Berhasil Mengeluarkan Ribuan Liter Air Pada Drainase Utama

November 17, 2025
  • Pengelola
  • Pedoman Pemberitaan
Kamis, Desember 4, 2025
  • Login
Siasat
  • Home
  • Peristiwa
  • Nusantara
  • Ekonomi Bisnis
  • Budaya
No Result
View All Result
Siasat
No Result
View All Result
Home Nusantara

Manifesto Gotong Royong di Perayaan Agustusan

in Nusantara, Opini
0
Manifesto Gotong Royong di Perayaan Agustusan
25
SHARES
278
VIEWS
Share on FacebookShare on Whatsapp

Arief Rahzen, pekerja budaya

Agustusan di Manonjaya, sebuah kecamatan bersejarah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, membawa lebih dari sekadar udara lembap khas Priangan. Ia membawa sebuah pertanyaan implisit yang menggantung di antara umbul-umbul merah putih yang terpasang di setiap gang: Apa sesungguhnya makna merdeka? Apakah ia sebatas upacara bendera yang khidmat di lapangan kecamatan, pidato pejabat yang didengarkan separuh hati, ataukah sesuatu yang lain? Jawaban paling jujur atas pertanyaan itu tidak ditemukan dalam seremoni formal, melainkan dalam riuh rendah dan peluh keringat perayaan yang diselenggarakan oleh rakyat itu sendiri. Pawai Agustusan di Manonjaya bukanlah sekadar festival. Pawai ini ialah sebuah manifesto hidup, sebuah tesis yang menegaskan gotong royong merupakan sistem operasi fundamental yang menjadikan Indonesia sebagai sebuah bangsa.

RelatedPosts

Peduli Sesama, GMNI Cabang Toraja Utara Salurkan Bantuan untuk Korban Terdampak Kebakaran

Musim Hujan dan Ancaman Banjir di Bima

Perkuat Basis Desa dan Lobi Kultural, Aliansi Pejuang PPS Susun Ulang Strategi

Narasi kemerdekaan ini tentu saja tidak dimulai pada tanggal tujuh belas, beberapa minggu sebelumnya di sebuah teras rumah seorang sesepuh desa. Di sanalah, di bawah cahaya bohlam 5 watt, mesin sosial itu dinyalakan. Tidak ada undangan rapat, hanya sebuah panggilan lisan yang menarik para pemuda pemudi, petani, pedagang, ojek hingga pegawai negeri. Ditemani kopi hitam dan singkong rebus, mereka tidak sedang rapat, mereka sedang merawat mimpi bersama. “Tahun kemarin kita buat replika Macan Siliwangi, bagaimana kalau tahun ini kita buat sesuatu yang lebih gagah? Tank!” usul Kang Ujang, matanya berapi-api. Tawa pecah. “Tank dari mana, Jang? Besinya mau cari di mana?” sahut Pak Didi, seorang petani. Pak Sobur, sambil mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, menengahi dengan bijak. “Gagasan bagus. Tapi tank kita bukan dari besi. Tank kita terbuat dari bambu, semangat, dan kebersamaan. Itulah senjata kita yang sebenarnya.”

Malam itu, sebuah ide lahir bukan dari perintah, melainkan dari dialog. Inilah parlemen rakyat yang sesungguhnya. Tidak ada kepentingan politik, tidak ada anggaran resmi, yang ada hanyalah modal sosial dan kebanggaan kolektif. Seketika, peran terbagi secara organik. Kang Ujang, dengan keahlian mekaniknya, ditunjuk sebagai “insinyur utama”. Bapak-bapak yang lain menjadi tim logistik, mencari bambu di kebun masing-masing. Para pemuda menjadi tenaga kerja kreatif. Dana operasional? Iuran sukarela, seikhlasnya, dari lima ribu hingga dua puluh ribu, dikumpulkan dalam kaleng biskuit bekas. Di sini, nilai kontribusi setiap warga tak diukur dari jumlah uang sumbangan, tapi dari kesediaan untuk menjadi “kita”.

Jika musyawarah warga adalah legislasi, maka minggu-minggu berikutnya adalah eksekusi bersama, sebuah alkimia sosial yang mengubah bahan-bahan seadanya menjadi simbol kebanggaan. Halaman rumah Kang Ujang sontak berubah menjadi bengkel kerja komunal. Aroma bambu yang dibelah berpadu dengan bau cat dan lem. Deru gerinda bersahutan dengan gelak tawa dan alunan musik dangdut dari radio butut. Proses ini adalah antitesis dari logika industri modern. Tidak ada mandor, tidak ada jam kerja, tidak ada upah. Orang-orang datang dan pergi silih berganti setelah mereka lelah bekerja di sawah atau pasar, menyumbangkan sisa tenaga mereka bukan karena kewajiban, melainkan karena rasa memiliki.

Di tengah kesibukan itu, para ibu menjadi tulang punggung yang tak terlihat. Mereka tidak ikut menggergaji atau mengecat, namun tanpa logistik dari dapur mereka, mesin gotong royong ini pasti akan macet. Setiap sore dan malam, Ibu Aisyah dan tetangganya datang membawa nampan berisi gorengan hangat dan berteko-teko teh manis. Ini bukan sekadar makanan, ini adalah energi, kepedulian, dan penegasan bahwa setiap peran, sekecil apa pun, adalah vital. Anak-anak kecil yang berlarian di sekitar proyek Agustusan menjadi pewaris semangat ini. Mereka melihat langsung bagaimana sebuah tank yang gagah bisa lahir dari bilah-bilah bambu, bagaimana tawa ayah mereka bisa meringankan beban angkut yang berat. Mereka tidak diajari tentang gotong royong di kelas, mereka menghirup dan merasakannya secara langsung.

Pagi hari tanggal 17 Agustus, jalanan utama Manonjaya adalah panggung pembuktian. Setelah upacara resmi yang singkat di alun-alun kecamatan, barulah perayaan yang sesungguhnya meledak. Kontrasnya begitu tajam. Jika seremoni negara adalah tentang kepatuhan pada protokol, maka pawai rakyat adalah tentang ledakan kreativitas dan kebebasan berekspresi. Di sinilah argumen utama menemukan wujud fisiknya. Ketika “Tank Bambu” dari desa Kang Ujang muncul dari tikungan jalan, didorong oleh belasan pemuda yang berpeluh dengan wajah berseri-seri, sorak-sorai membahana. Tank itu, dengan cat lorengnya yang sedikit belang dan meriam dari pipa paralon, mungkin terlihat lucu bagi mata sinis kaum urban. Namun bagi warga Manonjaya, ini monumen kerja keras mereka. Ini bukan sekadar properti karnaval. Ini bukti nyata bahwa dari ketiadaan materi, mereka bisa menciptakan sesuatu yang megah melalui kekuatan kolektif. Ini simbol kemandirian dan daya cipta, esensi sejati dari kata “merdeka”.

Pawai itu sendiri adalah sebuah teks berjalan tentang “Bhinneka Tunggal Ika” yang dipraktikkan, bukan sekadar dihafalkan. Ada rombongan petani membawa hasil bumi, ada barisan ibu-ibu berkebaya, ada kuda lumping, ada anak-anak madrasah yang menyanyikan selawat. Setiap kelompok menampilkan identitas uniknya, namun mereka semua bergerak dalam satu irama besar, merayakan satu narasi bersama. Batas antara peserta dan penonton kabur. Warga di pinggir jalan tidak hanya menonton, mereka berpartisipasi dengan sorakan, lambaian tangan, dan tawa. Ini adalah nasionalisme yang tumbuh dari akar rumput: hangat, inklusif, dan otentik. Inilah nasionalisme yang dirayakan karena cinta pada negara-bangsa.

Maka, pawai Agustusan di Manonjaya harus dibaca bukan sebagai festival semata, melainkan sebagai sebuah pernyataan sikap. Ini bantahan telak terhadap sinisme modern yang meremehkan gotong royong sebagai konsep usang. Di sini, gotong royong tampil bukan sebagai warisan budaya yang pasif, melainkan sebagai kekuatan rakyat. Ini cara rakyat merebut kembali hakikat kemerdekaan dari monopoli seremoni kenegaraan. Inilah bukti bahwa perayaan kemerdekaan yang paling otentik adalah yang lahir dari keringat rakyat, dimiliki oleh denyut nadi komunitas, bukan yang diatur dari podium kekuasaan.

Perayaan pada akhirnya memang akan usai. Bendera tergulung, panggung terbongkar, dan jalanan kembali pada rutinitasnya. Namun, gotong royong bukanlah panggung yang bisa dibongkar. Ia adalah fondasi yang semakin kokoh setelah ditempa kerja bersama. Di tengah zaman yang tembok-tembok individualismenya kian meninggi dan gema media sosial memecah belah kita dalam ruang-ruang sempit, praktik di Manonjaya ini bukan lagi sekadar nostalgia. Inilah vaksin sosial yang mendesak kita butuhkan untuk mencegah perpecahan. Inilah pengingat paling keras: fondasi republik ini sesungguhnya tidak ditopang oleh menara-menara baja di ibu kota, melainkan oleh musyawarah warga yang tergelar di teras-teras rumah sederhana, tempat warganya masih percaya pada kekuatan mimpi, dialog, dan kerja bersama. Tentu saja, berbagai desa di Indonesia juga merayakan semangat kebersamaan yang serupa. Di desa- desa inilah, denyut nadi keindonesiaan yang sejati dijaga agar tak berhenti berdetak.

Arief Rahzen, pekerja budaya yang meminati kajian budaya dan perubahan masyarakat di era digital. Sesekali menulis esai, bercerita, dan terlibat aktivitas budaya.

Tags: festivalgotong royongIndonesiakemerdekaanTasikmalaya
Share10SendShare
Siasat ID

Siasat ID

surel: siasatindonesia [at] gmail.com

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Mahasiwa KKL UNSA Desa Pemasar Adakan Sosialisasi dan Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik

Mahasiwa KKL UNSA Desa Pemasar Adakan Sosialisasi dan Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik

Agustus 1, 2023
Che Guevara: Jika Anda Bergetar dan Geram Setiap Melihat Ketidakadilan, Maka Anda Adalah Kawan Saya

Che Guevara: Jika Anda Bergetar dan Geram Setiap Melihat Ketidakadilan, Maka Anda Adalah Kawan Saya

Agustus 26, 2022
Pilkades Batu Bangka Diminta Pemungutan Suara Ulang, Ada Persoalan Data Pemilih

Pilkades Batu Bangka Diminta Pemungutan Suara Ulang, Ada Persoalan Data Pemilih

November 4, 2022
DPD PSI Pemalang Apresiasi langkah KPK dalam OTT terhadap Sejumlah Pejabat Pemkab Pemalang

DPD PSI Pemalang Apresiasi langkah KPK dalam OTT terhadap Sejumlah Pejabat Pemkab Pemalang

1
Ramaikan Hari Kemerdekaan, Karang Taruna Limbangan Adakan Lomba Layang-layang

Ramaikan Hari Kemerdekaan, Karang Taruna Limbangan Adakan Lomba Layang-layang

1
Wujud Solidaritas, IKA SMANCO galangkan Santunan Muharam Anak Yatim

Wujud Solidaritas, IKA SMANCO galangkan Santunan Muharam Anak Yatim

1

Ibadah dan Pemasangan Salib di Agimuga Berjalan Lancar.

Desember 4, 2025

Ibadah Rekonsiliasi Umat Katolik Suku Amungme 2025, Tandai Perbaikan Hubungan dan Persatuan di Mimika

Desember 4, 2025

GMNI Mimika Serukan Penegakan Hukum dan Penguatan Keamanan Menyongsong Nataru

Desember 2, 2025
Siasat

Copyright © 2023 Siasat.ID.

Navigate Site

  • Pengelola
  • Pedoman Pemberitaan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Nusantara
  • Ekonomi Bisnis
  • Budaya

Copyright © 2023 Siasat.ID.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In