Oleh : Firda Yunita (221009074), Putri Maharani(221009099), Anggita P Aryani (221009060), dan Nuraini (221009068), (Mahasiswa Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Teknologi Sumbawa)
Dosen Pengampu : Abdul Salam, S.E., M.M
Sumbawa, NTB – Saat senja mulai turun di jembatan Samota, aroma khas nasi bakar dan sate usus mulai meruap ke udara. Beberapa anak muda duduk santai di bangku kayu, menikmati secangkir kopi panas sambil bercengkerama. Di balik suasana hangat itu, berdirilah sosok pemuda penuh semangat yakni Rendi Landri, mahasiswa Teknik Mesin Fakultas Rekayasa Sistem Universitas Teknologi Sumbawa angkatan 2021, yang kini dikenal sebagai pemilik Angkringan Abang Kaka.
Buka setiap sore mulai pukul 16.00 hingga 22.00 WITA, usaha kecil ini bukan sekadar tempat makan. Ia menjadi simbol ketekunan, inovasi, dan keberanian anak muda untuk ikut menyokong roda ekonomi lokal dari titik terkecil.
Awalnya, Rendi tidak pernah berpikir untuk membuka usaha angkringan sederhana ini dan memiliki keinginan untuk berjualan gorengan dengan target mahasiswa. Kemudian usaha tersebut dimulai tanpa rencana atau konsep usaha yang jelas. Namun Rendi memiliki prinsip bahwa ketika membuka usaha bahwa seseorang harus siap menerima kerugian dan tidak semua usaha ramai.
“Saya berfikir ingin menjadi agen perubahan, dan mencoba mencetak lapangan pekerjaan. Dan kita sebagai mahasiswa menjadi pendorong perekonomian dan memberi pemahaman kepada penjual-penjual kecil ,” ujar Rendi.
Dalam waktu singkat, pelanggan mulai berdatangan. Tidak hanya mahasiswa, tapi juga pekerja sekitar, pedagang, dan beberapa pengunjung di jembatan samota. Menu andalannya sederhana namun mengena di lidah, seperti nasi lemak, sate-satean bacem, nasi bakar, es teh, dan kopi. Harga yang terjangkau menjadi nilai tambah di tengah kondisi ekonomi yang masih serba hemat bagi banyak orang.
Cerita Rendi memperkuat fakta bahwa UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 64 juta unit UMKM menyumbang lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional dan menyerap 97% dari total tenaga kerja di Indonesia. Dalam skala kecil seperti Angkringan Abang Kaka, kontribusi itu terlihat nyata seperti menciptakan lapangan kerja kecil, mendistribusikan uang ke supplier bahan makanan lokal, dan memberi akses makanan terjangkau bagi masyarakat sekitar.
“Sesuatu yang belum kita coba pasti kita tidak akan tahu,” ujar Rendi sambil merapikan menu ankringan di atas meja.
Berbeda dengan teori bisnis di kelas, Rendi belajar langsung dari pengalaman bagaimana menarik dan melayani pelanggan, mengatur stok makanan, mengelola uang, hingga beradaptasi dengan berbagai perubahan dalam usaha yang dirasakan olehnya.
Rendi juga mulai memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan angkringannya. Ia membuat akun Instagram dan mengunggah foto serta video sederhana, namun autentik. Hal tersebut menjadi contoh nyata bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk memulai. Dengan modal keberanian dan ketekunan, siapa pun bisa menggerakkan ekonomi dari titik nol. Ia tidak menunggu peluang datang dari luar, tapi menciptakannya sendiri dari apa yang ada di sekelilingnya.
Kini, Rendi tidak hanya berdagang. Ia juga menjadi inspirasi bagi teman-temannya, bahkan adik-adik tingkat di kampus. Beberapa sudah mulai bertanya bagaimana cara memulai usaha kecil, dan Rendi dengan senang hati berbagi pengalamannya.
“Pelajari pelajaran yang mengajarimu konsisten dengan satu hal yang kamu jalani, tidak masalah kamu belajar tentang semua hal karena suatu saat kamu akan menjalani salah satunya” ujar Rendi.
Dengan semangat seperti itu, Angkringan Abang Kaka bukan sekadar bisnis makanan. Ia menjadi wadah bagi pembelajaran, kolaborasi, dan pertumbuhan ekonomi mikro yang sejati. Kisah Rendi membuktikan bahwa anak muda bukan hanya penerima manfaat pembangunan, tapi juga penggeraknya. Dan semua itu dimulai dari sebuah warung kecil di jembatan Samota.