Bandung – Sidang Komisi pada Kongres XXII Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Bandung menjadi ajang pembahasan isu-isu strategis, terutama terkait kaderisasi dan agraria. Delegasi dari DPC GMNI Fakfak, Papua, mencuri perhatian dengan usulan terobosan untuk pemberdayaan kader perempuan dan kemandirian organisasi.
Dalam Sidang Komisi Kaderisasi (28/7) Ketua Cabang GMNI Fakfak, Sarinah Rahiya Furu, mengusulkan dua program inovatif:
- “Kelas Belajar Sarinah”: Sebuah program mentoring dan pelatihan khusus untuk kader perempuan GMNI. Program ini bertujuan meningkatkan representasi perempuan dalam kepemimpinan dengan materi seperti ideologi Marhaenisme, kepemimpinan, dan kesetaraan gender.
- “Usaha Kreatif Berjenjang”: Model pengembangan usaha dari tingkat pusat hingga komisariat untuk mencapai kemandirian finansial dan menumbuhkan jiwa wirausaha di kalangan kader.
Usulan ini mendapat sambutan positif karena dianggap sebagai langkah segar untuk memajukan GMNI. Data menunjukkan bahwa meskipun 40% kader GMNI adalah perempuan, hanya 15% yang menduduki posisi strategis, sehingga usulan ini dianggap krusial.
Di Komisi Politik, diskusi fokus pada isu agraria yang dinilai sebagai jantung Marhaenisme Bung Karno. Peserta menyoroti kegagalan implementasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960. Data yang dipaparkan menunjukkan tantangan besar:
- 103 kasus agraria belum terselesaikan di tahun 2024.
- 56% lahan produktif dikuasai oleh korporasi, sementara akses rakyat terhadap tanah semakin terbatas.
-Reforma agraria baru mencapai 30% dari target redistribusi tanah sejak 2015.
Diskusi ini menekankan pentingnya peran GMNI yang lebih proaktif dalam mengadvokasi hak-hak agraria rakyat.
Hasil pembahasan dari kedua komisi ini akan dirumuskan menjadi Rekomendasi Kongres dan Program Aksi yang akan dibahas pada Sidang Pleno untuk menghasilkan keputusan final.