SURADIN
Penulis Jalanan
Di ujung sore ia baru pulang dari ladang. Bertani merupakan profesinya sejak lama. Bahkan hingga umurnya memasuki usia ujur, ia masih menjadi petani. Ia tak terlalu pandai menganalisa harga ketika musim panen tiba. Baginya, sepanjang hasilnya masih mampu menopan ekonomi hidupnya, maka pertanian masih menjadi pilihannya.
Ia tak pernah tahu tentang banyak hal selain mengenai pertanian. Itu pun pola pertanian yang diwariskan oleh orang tuanya terdahulu, walau kini menggunakan berbagai jenis obat untuk menyuburkan dan membunuh gulma yang menghambat pertumbuhan tanaman yang di tanamnya. Selain padi, ia juga terbiasa menanam jagung. Hasilnya tentu untuk kebutuhan hidupnya, dan sebagiannya membiayai pendidikan cucunya yang sedang duduk di bangku sekolah dasar.
Semenjak ditinggal mati istrinya dua tahun silam, praktis ia tinggal sendiri di rumahnya yang sederhana. Tak banyak yang bertandang ke kediamannya di ujung kampung. Kalau pun ada, hanya anaknya yang sudah berkeluarga di kampung sebelah yang sesekali menyambanginya. Selain membawakan sesuatu untuk kebutuhan dapur, juga memastikan kondisi kesehatannya yang semakin menua.
Tapi kali ini, ia kedatangan seseorang yang mengaku diri sebagai keluarganya. Ia tampak tak mengenalinya. Tamu yang tak diundang ini menceritakan banyak hal tentang silsilah keluarganya serta motivasinya bertandang. Ternyata tamu ini datang meminta dukungan karena dirinya akan memasuki arena politik di tahun 2024 mendatang. Ia ingin didukung dan dicoblos ketika pemilihan nanti. Untuk meyakinkan yang empunya rumah, dirinya berjanji akan memberikan imbalan yang setimpal jika kelak terpilih.
Mendengar itu, ia hanya terdiam. Ia mencoba mengingat kembali sudah berapa kali disambangi oleh para calon legislatif kala musim kampanye. Dari semua yang berjanji tak satu pun datang kembali dan menempati janji politiknya. Bahkan tidak sedikit diantaranya melupakan janji-janji politiknya dan datang kembali ketika musim kampanye tiba. Sehingga ketika tamunya berjanji yang sama seperti para calon legislatif dan eksekutif sebelumnya, ia hanya tersenyum tipis.
Walau umurnya sudah tidak muda lagi, tapi dirinya bisa menilai ketulusan dan kejujuran seseorang. Terlebih yang berjanji adalah mereka yang termotivasi ingin mencicipi kue kekuasaan. Datang dengan rayuan, serupa pemuda yang sedang jatuh cinta kepada seorang gadis pujaannya. Ia akan melakukan banyak hal untuk mendapatkan cinta dari orang yang ingin ditaklukan hatinya. Jika inginnya sudah tercapai, lalu kemudian dihantui perasaan bosan ia pun tega mencampakkannya tanpa alasan.
Bukankah politisi memiliki banyak kesamaan, disamping perbedaan di antara mereka. Suka berjanji, merayu, bahkan sok kenal. Terlebih memasuki musim pemilihan. Mereka akan berlomba-lomba membangun pencitraan demi meraih simpati publik. Ada yang berpenampilan necis ala pegawai bank. Bahkan tidak sedikit berpenampilan ustadz, walau bacaan alfatihanya banyak yang keliru. Calon seperti ini, ingin mencitrakan dirinya sebagai orang yang berwibawa. Sok Suci. Padahal sering membawa janda kemana-mana.
Ketika ada acara hajatan, ia akan memilih duduk paling depan. Tetap mengusahakan untuk datang walau tak di undang. Merasa penting, padahal nggak penting-penting amat. Kemudian kala berpapasan dengan orang lain, ia akan melempar senyum walau sejatinya ia memiliki tipe yang tidak ramah terhadap semua orang.
Bahkan ketika menaiki kendaraan dan melewati perkampungan. Sepanjang jalan orang-orang di sapanya tanpa henti. Sok kenal terhadap semua orang. Padahal belum tentu semua orang mengenalnya. Ia hanya ingin dikenal sebagai orang baik di mata banyak orang. Dibagikannya sembako dan baju olah raga terhadap panitia penyelanggara turnamen. Bahkan untuk kesebelasan satu club bola, dirinya rela menanggung uang pendaftaran serta semua akomodasinya selama mengikuti turnamen.
Bahkan tidak sedikit para calon legislatif dan eksekutif sangat rajin berbagi dalam banyak momentum. Baik saat ada hajatan, terlebih pada saat acara-acara yang ramai di hadiri banyak orang. Momen seperti ini dimanfaatkannya untuk menunjukkan diri ke publik. Ingin di kenal. Pandai memposisikan diri dalam banyak kesempatan. Urat malunya sudah putus. Tak penting apakah yang dilakukannya dianggap salah atau benar. Yang penting baginya bagaimana mendapatkan dukungan massa rakyat di kotak suara nanti.
Tampaknya itu pula yang diyakini calon legislatif yang datang di kediaman seorang kakek tua di ujung kampung di Dompu selatan sepekan silam. Ia tidak merasa berdosa karena berbohong dengan mengaku dirinya memiliki hubungan keluarga dengan kakek yang disambanginya. Ia ingin menipu dengan meyakinkan bahwa dirinya memiliki silsilah dan hubungan darah dengan semua orang di kampung itu termasuk yang empunya rumah.
Mungkin itu merupakan salah satu trik dilakukannya agar bisa mendapatkan simpati orang lain. Yang sejatinya, jika ia memang memiliki keluarga, kenapa baru muncul saat mendekati musim politik. Dari mana saja dirinya ketika kakek itu terhimpit biaya saat istrinya tiga tahun silam terpaksa dilarikan ke rumah sakit terdekat karena terserang penyakit ganas. Dan kemana rimbanya, ketika beberapa keluarga tidak mampu di kampung itu terpaksa mengundurkan niat anaknya untuk melanjutkan cita-cita keperguruan tinggi karena ketiadaan biaya.
Bahkan dimana mukanya yang sok bijak itu, ketika sebagian masyarakat yang tinggal dibantaran sungai yang rumahnya hancur terbawah arus karena banjir bandang satu tahun silam. Kini, dirinya tiba-tiba muncul serupa hantu di siang bolong. Sok peduli padahal munafik. Di kira masyarakat yang disambanginya mudah di rayu dengan gombalan murahan seperti dirinya. Ia tidak sadar, dirinya tidak pernah berbuat apa-apa untuk masyarakat banyak. Tiba-tiba muncul dengan retorika ala penjual obat di pasar sana.
Harusnya ia bercermin terlebih dahulu sebelum datang dan minta dukungan publik. Kalau tidak memiliki cermin di rumah, minimal ia numpang cermin di rumah tetangganya. Apakah ia pernah memiliki kontribusi dan sumbangsih bagi kepentingan banyak orang. Pertanyaan serupa harus dialamatkan kepada dirinya, lalu dengan jujur menjawabnya. Ini merupakan cara untuk bermuhasabah. Introspeksi diri.
Optimisme itu penting, tapi jangan lupa untuk tetap realistik. Boleh impiannya melangit, tapi ingat kita sedang berpijak di bumi. Idealisme itu memang harus ada sebagai pondasi dalam melangkah. Hanya saja sikap rasional dengan melihat kenyataan yang ada perlu menjadi pertimbangan. Kekuasaan memang menggiurkan dan menjanjikan banyak kemewahan. Tapi jika terpental kemudian jatuh terjungkal dengan modal mental yang keropos, maka hidup serasa kiamat.
Tidak sedikit para calon yang stres karena tidak tersampaikan keinginannya. Itu wajar, karena ongkos politik di negeri ini memang tidak murah. Tidak cukup dengan janji politik, wajah yang ganteng dan relasi kekuasaan yang kuat. Bahkan jangan percaya pada perkawanan di dunia politik. Ini bukan di dunia perhewanan. Ini berurusan dengan manusia. Di dalam dunia politik, semua dihitung berdasarkan pada kalkulasi kepentingan. Hari ini kawan, bisa jadi besok dia adalah lawan.
Jadi jangan bertingkah seolah sudah terpilih, padahal sedang mengemis suara rakyat. Masyarakat tidak bodoh, apa lagi di bodoh-bodohi. Zaman sudah berubah begitu cepat. Arus informasi mudah di akses. Tak penting apa yang dikatakan, tapi pembuktian yang dibutuhkan.